Jenis
Putusan Yang Dapat Dimohonkan Banding
Berdasarkan
ketentuan pasal 3 Jo. 5 UU No. 1 Drt. Tahun 1951 hukum acara perdata untuk
banding tidak lagi berdasarkan pasal 188 sampai dengan 194 HIR, tetapi untuk Jawa
dan Madura berlaku UU No. 20 Tahun 1947, sedang untuk luar Jawa dan Madura
pasal 199 sampai dengan 205 Rbg.
Dari
isi ketentuan pasal 6 dan 9 UU No. 20 Tahun 1947 dapat ditarik kesimpulan bahwa
yang dapat dimohonkan banding hanyalah putusan dan bukan untuk penetapan hakim.
Dengan perkataan lain hanya terhadap putusan jenis condemnatoir dan constitutief
saja, bukan untuk jenis declaratoir. Putusan
yang dapat dimohonkan banding hanyalah putusan akhir, berarti putusan sela
tidak dapat dimohonkan banding kecuali apabila diajukan bersama-sama dengan
putusan akhir (Sudikno Mertokusumo, 1982:190). Penentuan bahwa yang dapat
dimohonkan banding hanyalah putusan hakim ini tetap dapat kita pertahankan,
sebab dalam menyelesaikan suatu sengketa ada pihak yang tidak puas atau merasa
dirugikan oleh putusan tersebut.
Upaya hukum terhadap penetapan itu langsung kasasi, hal
ini sesuai dengan pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985, yang menentukan “Mahkamah
Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan
dari semua lingkungan peradilan karena: a. tidak berwenang atau melampaui batas
wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. lalai
memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Kalau
di lingkungan peradilan umum penetapan tidak dapat dimohonkan banding, kalau di
lingkungan peradilan agama di samping putusan, penetapan juga dapat dimohonkan
banding. Atas alasan bahwa baik putusan maupun penetapan dapat dimohonkan
banding, dan dengan dituangkan dalam bentuk penetapan lebih sederhana, cepat
dan murah, sehingga ada yang seharusnya bentuk putusan dirubah menjadi
penetapan. Alasan lain kemungkinan untuk menghindari kewajiban memintakan
pengukuhan setiap putusan pengadilan agama yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap kepada pengadilan negeri (Kuntoro Basuki, 1989:52-53).
Putusan
yang bukan putusan akhir atau disebut juga putusan sela atau putusan antara
mempunyai fungsi untuk memperlancar pemeriksaan perkara. Putusan sela sebagai
satu kesatuan untuk menyelesaikan perkara yang akhirnya tertuang dalam putusan
akhir. Termasuk putusan sela adalah putusan yang bertujuan mengatur jalannya
pemeriksaan atau membagi beban pembuktian antara kedua belah pihak atau yang
memerintahkan pemeriksaan lainnya, putusan sela inilah yang tidak dapat
dimohonkan banding tersendiri.
Memang
ada putusan sela yang sekaligus juga dianggap sebagai putusan akhir, yaitu
putusan dalam mana pengadilan negeri menganggap dirinya tidak berhak untuk
memeriksa perkaranya (pasal 9 ayat [2] UU No. 20 Tahun 1947).
Sebagai
bahan perbandingan ketentuan dalam Reglement
op de Burgerlijke Rechtsvordering di samping mengenal putusan akhir (einvonnis), juga mengenal putusan sela
atau antara (tusschenvonnis) yaitu: putusan praeparatoir dan putusan interlocutoir.
Putusan praeparatoir gunanya
untuk melancarkan acara, untuk memudahkan pengambilan putusan akhir, tetapi
tidak mempunyai pengaruh atas pokok perkara atau putusan akhir. Putusan interlocutoir isinya
memerintahkan pembuktian, sehingga dapat mempengaruhi putusan akhir.
Pemohon
Banding
Ketentuan
pasal 6 UU No. 20 Tahun 1947 yang menentukan bahwa oleh salah satu dari
pihak-pihak (partijen) yang
berkepentingan dapat diminta, supaya pemeriksaan perkara diulangi oleh
pengadilan tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing.
Untuk
menghindari tindakan pemohon banding yang licik, Subekti mensarankan agar dalam
hukum acara
perdata yang baru nanti perlu diadakan ketentuan mengenai
pencabutan permohonan banding, jangan sampai merugikan pihak lawan, pencabutan hanya diperkenankan apabila
ada persetujuan pihak lawan. Pendapat
Subekti lebih menjamin rasa keadilan. Apabila
terjadi pencabutan permohonan banding, maka pemohon tidak diperkenankan
mengajukan lagi walaupun tenggang waktu 14 hari masih ada.
Banding
sebagai upaya untuk memperoleh perbaikan putusan yang lebih menguntungkan, oleh
sebab itu upaya banding hanya disediakan bagi pihak yang merasa tidak puas.
Pengertian pihak yang tidak puas harus diartikan pihak yang dikalahkan oleh
putusan pengadilan negeri.
Mahkamah
Agung dengan putusannya tanggal 2 Desember 1975 No. 281 K/Sip/1973 menyatakan
bahwa “asas yang berlaku dalam banding ialah bahwa permohonan banding itu hanya
terbatas pada putusan pengadilan negeri yang merugikan pihak yang naik banding,
jadi tidak ditunjukan pada putusan pengadilan negeri yang menguntungkan
baginya.
Putusan
Mahkamah Agung tanggal 5 Juni 1971 No. 46 K/Sip/1969 yang menentukan “Apabila dalam
hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari seoranng,
sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk seorang
pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk
kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat
diterima”. (Rangkuman II, 1977:248)
Persyaratan
Permohonan Banding
Sebagai
syarat utama untuk diterimanya permohonan banding adalah bahwa permohonan itu
diajukan oleh orang yang mempunyai kepentingan hukum pada peradilan tingkat
pertama.
Pasal
7 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947 menentukan bahwa “Permintaan untuk pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan
surat atau dengan lisan oleh peminta atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk
memajukan permintaan itu, kepada Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan
putusan dalam empat belas hari, terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman
putusan kepada yang berkepentingan”.
Mengenai
tenggang waktu 14 hari sesudah diterimanya putusan oleh yang berkepetingan atau
menjadi 30 hari kalau pemohon tidak bertempat tinggal dalam wilayah hukum
pengadilan negeri yang mengambil putusan. Atau dalam hal ada permohonan ijin
untuk berperkara dalam tingkat banding tanpa biaya tenggang waktu, terhitung mulai hari berikutnya setelah
pemberitahuan putusan pengadilan tinggi tentang permohonan tersebut.
Permohonan
banding yang telah diterima baru didaftarkan dalam buku daftar yang disediakan
untuk itu dan dianggap sah jika pemohon banding telah membayar biaya perkara
banding. Menurut pasal 7 ayat (4) UU No. 20 Tahun 1947 besarnya biaya perkara
banding ditaksir oleh panitera pengadilan negeri yang bersangkutan. Untuk menjamin kepastian hukum perlu ada
ketegasan bahwa biaya perkara banding harus dibayar dalam tenggang waktu yang
telah ditentukan, apabila tidak tepat atau tidak bayar maka permohonan banding
dianggap gugur demi hukum dengan ketetapan ketua pengadilan negeri.
Tindakan
dan Upaya Pihak Pemohon Banding
Maksud
upaya banding adalah untuk memperbaiki putusan peradilan tingkat pertama
(pengadilan negeri), dan tujuan pokoknya adalah untuk mendapatkan putusan yang
lebih memuaskan atau lebih menguntungkan, maka perlu kiranya pihak yang merasa
tidak puas itu mengemukakan alasan-alasannya, atau kalau mungkin mengajukan
alat bukti baru yang belum diajukan.
Pencabutan Pemohon Banding. Pencabutan permohonan banding sebelum
perkara diperiksa oleh pengadilan tinggi hendaknya tidak merugikan pihak lawan
atau hanya dimungkinkan dengan persetujuan pihak lawan atau terbanding. Dengan
pencabutan berarti pemohon banding dan pihak lawan yang menyetujui hal tersebut dianggap menerima putusan
pengadilan negeri.
Perubahan Gugatan. Tentang
perubahan gugatan Retnowulan Sutantio menghendaki agar dipertimbangkan secara
kasus demi kasus. Kalau pengadilan tinggi berdasarkan putusan sela mengadakan
pemeriksaan tambahan, menurut asas
partij-autonomie, asal pihak lawan tidak menyatakan keberatannya dapat
dikabulkan. Jika pemeriksaan
tambahan diperintahkan untuk dilakukan oleh hakim peradilan tingkat pertama,
karena hakim tingkat pertama terikat dalam putusan sela, perubahan dan atau
penambahan gugatan tanpa persetujuan pihak lawan, tidak dapat dikabulkan.
(Retnowulan Sutantio, 1984:13)
Isi
putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Oktober 1970 No. 546 K/Sip/1970 yang
menyatakan “Perubahan gugatan tidak dapat dibenarkan pada tingkat di mana
pemeriksaan perkara sudah hampir selesai.Saat
dalil tangkisan dan pembelaan sudah habis dikemukakan dan kedua belah pihak
sebelumnya
sudah mohon putusan”.(Sudikno Mertokusumo, 1988:78). Sebaiknya untuk perubahan kita
berpedoman pada putusan Mahkamah Agung tersebut, yang berarti di tingkat
banding tidak perkenankan lagi. Kecuali perubahan yang isinya untuk menambah
gugatan yang secara tidak langsung ada kaitannya dengan penyelesaian perkara dapat
dibenarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar