Visitor

Kamis, 22 Maret 2012

HK. ACARA PERADILAN TENTANG PUTUSAN YANG DAPAT DIMOHONKAN BANDING


Jenis Putusan Yang Dapat Dimohonkan Banding
Berdasarkan ketentuan pasal 3 Jo. 5 UU No. 1 Drt. Tahun 1951 hukum acara perdata untuk banding tidak lagi berdasarkan pasal 188 sampai dengan 194 HIR, tetapi untuk Jawa dan Madura berlaku UU No. 20 Tahun 1947, sedang untuk luar Jawa dan Madura pasal 199 sampai dengan 205 Rbg.
Dari isi ketentuan pasal 6 dan 9 UU No. 20 Tahun 1947 dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dapat dimohonkan banding hanyalah putusan dan bukan untuk penetapan hakim. Dengan perkataan lain hanya terhadap putusan jenis condemnatoir dan constitutief saja, bukan untuk jenis declaratoir. Putusan yang dapat dimohonkan banding hanyalah putusan akhir, berarti putusan sela tidak dapat dimohonkan banding kecuali apabila diajukan bersama-sama dengan putusan akhir (Sudikno Mertokusumo, 1982:190). Penentuan bahwa yang dapat dimohonkan banding hanyalah putusan hakim ini tetap dapat kita pertahankan, sebab dalam menyelesaikan suatu sengketa ada pihak yang tidak puas atau merasa dirugikan oleh putusan tersebut.
Upaya hukum terhadap penetapan itu langsung kasasi, hal ini sesuai dengan pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985, yang menentukan “Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Kalau di lingkungan peradilan umum penetapan tidak dapat dimohonkan banding, kalau di lingkungan peradilan agama di samping putusan, penetapan juga dapat dimohonkan banding. Atas alasan bahwa baik putusan maupun penetapan dapat dimohonkan banding, dan dengan dituangkan dalam bentuk penetapan lebih sederhana, cepat dan murah, sehingga ada yang seharusnya bentuk putusan dirubah menjadi penetapan. Alasan lain kemungkinan untuk menghindari kewajiban memintakan pengukuhan setiap putusan pengadilan agama yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada pengadilan negeri (Kuntoro Basuki, 1989:52-53).
Putusan yang bukan putusan akhir atau disebut juga putusan sela atau putusan antara mempunyai fungsi untuk memperlancar pemeriksaan perkara. Putusan sela sebagai satu kesatuan untuk menyelesaikan perkara yang akhirnya tertuang dalam putusan akhir. Termasuk putusan sela adalah putusan yang bertujuan mengatur jalannya pemeriksaan atau membagi beban pembuktian antara kedua belah pihak atau yang memerintahkan pemeriksaan lainnya, putusan sela inilah yang tidak dapat dimohonkan banding tersendiri.
Memang ada putusan sela yang sekaligus juga dianggap sebagai putusan akhir, yaitu putusan dalam mana pengadilan negeri menganggap dirinya tidak berhak untuk memeriksa perkaranya (pasal 9 ayat [2] UU No. 20 Tahun 1947).
Sebagai bahan perbandingan ketentuan dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering di samping mengenal putusan akhir (einvonnis), juga mengenal putusan sela atau antara (tusschenvonnis) yaitu: putusan praeparatoir dan putusan interlocutoir.
Putusan praeparatoir gunanya untuk melancarkan acara, untuk memudahkan pengambilan putusan akhir, tetapi tidak mempunyai pengaruh atas pokok perkara atau putusan akhir. Putusan interlocutoir isinya memerintahkan pembuktian, sehingga dapat mempengaruhi putusan akhir.

Pemohon Banding
Ketentuan pasal 6 UU No. 20 Tahun 1947 yang menentukan bahwa oleh salah satu dari pihak-pihak (partijen) yang berkepentingan dapat diminta, supaya pemeriksaan perkara diulangi oleh pengadilan tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing.
Untuk menghindari tindakan pemohon banding yang licik, Subekti mensarankan agar dalam hukum acara perdata yang baru nanti perlu diadakan ketentuan mengenai pencabutan permohonan banding, jangan sampai merugikan pihak lawan, pencabutan hanya diperkenankan apabila ada persetujuan pihak lawan. Pendapat Subekti lebih menjamin rasa keadilan. Apabila terjadi pencabutan permohonan banding, maka pemohon tidak diperkenankan mengajukan lagi walaupun tenggang waktu 14 hari masih ada.
Banding sebagai upaya untuk memperoleh perbaikan putusan yang lebih menguntungkan, oleh sebab itu upaya banding hanya disediakan bagi pihak yang merasa tidak puas. Pengertian pihak yang tidak puas harus diartikan pihak yang dikalahkan oleh putusan pengadilan negeri.
Mahkamah Agung dengan putusannya tanggal 2 Desember 1975 No. 281 K/Sip/1973 menyatakan bahwa “asas yang berlaku dalam banding ialah bahwa permohonan banding itu hanya terbatas pada putusan pengadilan negeri yang merugikan pihak yang naik banding, jadi tidak ditunjukan pada putusan pengadilan negeri yang menguntungkan baginya.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Juni 1971 No. 46 K/Sip/1969 yang menentukan “Apabila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari seoranng, sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk seorang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima”. (Rangkuman II, 1977:248)
Persyaratan Permohonan Banding
Sebagai syarat utama untuk diterimanya permohonan banding adalah bahwa permohonan itu diajukan oleh orang yang mempunyai kepentingan hukum pada peradilan tingkat pertama.
Pasal 7 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947 menentukan bahwa Permintaan untuk pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh peminta atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk memajukan permintaan itu, kepada Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan dalam empat belas hari, terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan”.
Mengenai tenggang waktu 14 hari sesudah diterimanya putusan oleh yang berkepetingan atau menjadi 30 hari kalau pemohon tidak bertempat tinggal dalam wilayah hukum pengadilan negeri yang mengambil putusan. Atau dalam hal ada permohonan ijin untuk berperkara dalam tingkat banding tanpa biaya tenggang waktu, terhitung mulai hari berikutnya setelah pemberitahuan putusan pengadilan tinggi tentang permohonan tersebut.
Permohonan banding yang telah diterima baru didaftarkan dalam buku daftar yang disediakan untuk itu dan dianggap sah jika pemohon banding telah membayar biaya perkara banding. Menurut pasal 7 ayat (4) UU No. 20 Tahun 1947 besarnya biaya perkara banding ditaksir oleh panitera pengadilan negeri yang bersangkutan. Untuk menjamin kepastian hukum perlu ada ketegasan bahwa biaya perkara banding harus dibayar dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, apabila tidak tepat atau tidak bayar maka permohonan banding dianggap gugur demi hukum dengan ketetapan ketua pengadilan negeri.
Tindakan dan Upaya Pihak Pemohon Banding
Maksud upaya banding adalah untuk memperbaiki putusan peradilan tingkat pertama (pengadilan negeri), dan tujuan pokoknya adalah untuk mendapatkan putusan yang lebih memuaskan atau lebih menguntungkan, maka perlu kiranya pihak yang merasa tidak puas itu mengemukakan alasan-alasannya, atau kalau mungkin mengajukan alat bukti baru yang belum diajukan.
Pencabutan Pemohon Banding. Pencabutan permohonan banding sebelum perkara diperiksa oleh pengadilan tinggi hendaknya tidak merugikan pihak lawan atau hanya dimungkinkan dengan persetujuan pihak lawan atau terbanding. Dengan pencabutan berarti pemohon banding dan pihak lawan yang menyetujui hal tersebut dianggap menerima putusan pengadilan negeri. 
Perubahan Gugatan. Tentang perubahan gugatan Retnowulan Sutantio menghendaki agar dipertimbangkan secara kasus demi kasus. Kalau pengadilan tinggi berdasarkan putusan sela mengadakan pemeriksaan tambahan, menurut asas partij-autonomie, asal pihak lawan tidak menyatakan keberatannya dapat dikabulkan. Jika pemeriksaan tambahan diperintahkan untuk dilakukan oleh hakim peradilan tingkat pertama, karena hakim tingkat pertama terikat dalam putusan sela, perubahan dan atau penambahan gugatan tanpa persetujuan pihak lawan, tidak dapat dikabulkan. (Retnowulan Sutantio, 1984:13)
Isi putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Oktober 1970 No. 546 K/Sip/1970 yang menyatakan “Perubahan gugatan tidak dapat dibenarkan pada tingkat di mana pemeriksaan perkara sudah hampir selesai.Saat dalil tangkisan dan pembelaan sudah habis dikemukakan dan kedua belah pihak sebelumnya sudah mohon putusan”.(Sudikno Mertokusumo, 1988:78). Sebaiknya untuk perubahan kita berpedoman pada putusan Mahkamah Agung tersebut, yang berarti di tingkat banding tidak perkenankan lagi. Kecuali perubahan yang isinya untuk menambah gugatan yang secara tidak langsung ada kaitannya dengan penyelesaian perkara dapat dibenarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar