PENDAHULUAN
Pemikiran-pemikiran
para filosof tentang ajaran-ajaran dan wahyu dari Allah. Banyak ajaran Islam
yang tidak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka.
Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus
terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah
kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah
syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi
orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada
porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus
masuk pemikiran kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum
muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para
shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang
semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan
kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran
Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi
Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal.
Oleh
karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati
saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok
Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini
dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam
menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
A. Aliran
Khawarij[1]
Ciri
yang menonjol dari aliran khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan
persoalan-persoalan kalam. Hal ini di dukung oleh watak kerasnya akibat letak
geografis, juga di bangun atas dasar pemahaman tekstual atas nas-nas Al-Quran dan
Hadist. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status
pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim adalah kafir, berdasarkan firman Allah surah Al-Maidah ayat 44
Semua pelaku
dosa besar menurut subsekte Khawarij adalah sebagai berikut
1. Khawarij
Azariqah. Mereka menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir yaitu musyrik.
Pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya
menjadi kafir millah (agama), dan itu berarti dia telah keluar dari islam
(musyrik). Mereka kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya. Kafir yang
di maksud oleh Azariqah disini adalah semua orang islam yang tidak sepaham
dengan mereka. Bahkan orang islam yang sepaham dengan mereka, tetapi tidak mau berhijrah kedalam
lingkungan mereka juga di pandang kafir bahkan musyrik.
2. Khawarij
Najdah. Pelaku dosa besar dianggap musyrik oleh khawarij Najdah, jika pelaku
tersebut secara continue melakukan dosa kecil. Namun apabila dosa besar tersebut
tidak dikerjakan secara continue, maka pelakunya tidak dianggap musyrik tetapi
hanya kafir. Kafir yang dimaksud oleh Najdah adalah mereka orang islam yang
tidak sepaham dengan golonganya. Dan pengikutnya jika mengerjakan dosa besar tetap mendapatkan
siksaan di neraka, tapi pada akhirnya akan masuk surga juga.
3. Khawarij
Al-Muhakimat, semua orang yang menyetujui arbitrase (tahkim) adalah bersalah
dan menjadi kafir. Hukum kafir inipun mereka luaskan artinya sehingga termasuk
orang yang berbuat dosa besar. Berbuat zina, membunuh sesama manusia tanpa
sebab, dan dosa-dosa besar lainnya menyebabkan pelakunya telah keluar dari
islam.
4. Khawarij
As-Sufriah, membagi dosa besar dalam dua bagian. Yaitu dosa yang ada sanksinya
di dunia, seperti membunuh, mencuri dan berzina, dan dosa yang di dunia tidak
ada sanksinya, seperti meniggalkan sholat dan puasa. Orang yang berbuat dosa
kategori pertama tidak dianggap kafir, sedangkan orang yang melaksanakan dosa
kategori kedua dipandang kafir.
Golongan
khawarij berpendapat bahwa mengerjakan perintah-perintah agama seperti puasa,
sholat, jujur, adil dan perbuatan baik lainnya menjadi bagian dari iman. Di
karenakan menurut golongan ini, iman bukan hanya sekedar kepercayaan saja,
demikian halnya jika kita percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai
rasul-Nya, kemudian tidak mengerjakan kewajiban-kewajiban agama apalagi
mengerjakan dosa besar maka ia menjadi kafir.
B. Aliaran
Murjiah[2]
Pandangan
aliran Murjiah tentang status pelaku dosa besar, dapat di telusuri dari
definisi iman yang di rumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte Murjiah berbeda
pendapat dalam merumuskan definisi iman itu, sehingga pandangan tiap sekte
tentang status pelaku dosa besarpun berbeda-beda pula. Harun nasution
berpendapat sebagai berikut
1. Murjiah yang
ekstrim, mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak
di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi
dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu,segala ucapan dan perbuatan
seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak menggeser atau merusak
keimananya, bahkan keimanannya masih sempurna di mata Tuhan. Murjiah yang
berpendapat diatas diantaranya adalah, Al-Jamiiyah, Al-Solihiyah, Al-Yunusiah.
Mereka berpandangan bahwa iman adalah tasdiq (membenarkan) secara kalbu saja,
atau dengan kata lain, mengetahui Allah dengan kalbu; bukan secara
demonstratif, baik ucapan maupun tindakan.oleh karena itu jika seseorang telah
beriman dalam hatinya,ia dipandang tetap sebagai orang mukmin sekalipun
menampakkan tingkah laku seperti yahudi atau nasrani. Menurut mereka iqrar dan
amal bukan bagian dari iman. Hal ini dapat disimpulkan bahwa, murjiah ekstrim
memandang pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir sehingga tidak akan disiksa
di neraka.
2. Murjiah moderat,
mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun di
siksa di neraka, ia tidak kekal di
dalamnya,bergantung pada ukuran dosa yang di lakukannya. Masih terbuka
kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya, sehingga ia terbebas dari
neraka. Murjiah yang berpendapat ini adalah, Abu Hanifah dan pengikutnya
Golongan
Murjiah mengatakan bahwa iman hanyalah kepercayaan hati semata-mata, dan amalan
lahir tidak menjadi bagian dari iman. Orang yang mengerjakan dosa besar tidak mengeluarkannya
dari lingkungan iman (tidak dianggap kafir). Jadi golongan murjiah membuka
pintu seluas-luasnya. Semboyan golongan murjiah “maksiat tidak berbahaya
beserta iman (tidak membahayakan) sebagaimana ketaatan tidak akan berguna beserta
kekafiran”[3]
C. Aliaran
Mu’tazilah
Jawaban
tentang status pelaku dosa besar dalam aliran Mu’tazilah dapat di kategorikan
menjadi 3, yaitu[4]
1. Sebutan Mu’tazilah
Disebut
Mu’tazilah, karena Wasil bin ‘Ata dan ‘Amar bin ‘Ubaid menjauhkan diri
(I’tizala) dari pengajian Hasan Basri di Basrah, kemudian membentuk pengajian
sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar
tidak mu’min lengkap, juga tidak kafir lengkap, melainkan berada dalam suatu
tempat diantara dua tempat (tingkatan) tersebut. Karena penjauhan ini, maka
disebut orang mu’tazilah(orang yang menjauhkan diri-memisahkan diri)
Golongan
mu’tazilah menyalahi semua pendapat yang
telah ada, tentang orang yang mengerjakan dosa besar. Seperti yang dikatakan
oleh Murjiah bahwa pembuat dosa besar masih termasuk mu’min. Menurut golongan
khawarij azariqah dia menjadi kafir. Sedang menurut Hasan Basri ia menjadi
orang yang munafik. Datanglah Wasil bin ‘Ata untuk mengatakan pembuat dosa
besar bukan mu’min, bukan pula menjadi kafir, melainkan menjadi fasik.
2. Masalah iman
Menurut golongan
Mu’tazilah semua orang yang terlibat dalam persengketaan kaum muslimin tetap
orang mu’min juga, tidak keluar dari islam, karena soal iman menjadi pekerjaan
hati semata-mata. Kelanjutannya adalah khalifah Umawi tetap menjadi orang
mu’min, meskipun mengerjakan dosa besar, begitu pula lawan-lawannya. Iman
terdiri dari sikap-sikap kebaikan, yang apabila terkumpul pada seseorang, maka
ia akan disebut sebagai orang mu’min sebagai sebutan pujian. Orang fasik tidak
terkumpul pada dirinya sifat-sifat kebaikan dan tidak berhak akan sebutan
pujian, yaitu mu’min. tetapi ia juga bukan orang kafir sama sekali, karena
syahadat dan amalan-amalan baik terdapat padanya dan tidak bisa diingkari.
3. Prinsip
Seorang muslim
yang mengerjakan dosa besar selain syirik, bukan lagi menjadi orang mu’min,
juga tidak menjadi orang kafir melainkan fasik. Tingkatan orang fasik berada
dibawah orang mu’min dan diatas orang kafir. Prinsip mu’tazilah di sini
mengambil jalan tengah dalam menghukumi pelaku dosa besar, yang pendapat
golongan ini didasari atas Al-Quran ayat 31 surat Al-Isra’, Hadis (sebaik-baiknya
perkara ialah yang tengah-tengah),kata-kata yang diambil hikmah dari
cendakiawan islam (jadikan kamu dalam dunia ini tengah-tengah).
D. Aliran
Asy’ariyah[5]
Terhadap
pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari, sebagi wakil Ahl As-Sunah, tidak
mengkafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah(Ahl Al-Qiblah) walaupun mereka
dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya mereka masih tetap sebagai
orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa
besar. Akan tetapi, jika dosa besar itu dilakukan dengan anggapan bahwa hal ini
dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia di pandang telah kafir.
Adapun
balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak
sempat bertaubat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakn
Tuhan. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat
syafaat dari nabi Muhammad SAW. Sehingga terbebas dari siksaan neraka atau
kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa
yang dilakukannya. Meskipun begitu ia tidak akan kekal di neraka seperti
orang-orang kafir lainnya. Dapat disimpulkan bahwa Al-Asy’ari sesungguhnya
mengambil posisi yang sama dengan murjiah, khususnya dalam pernyataan yang
tidak mengkafirkan pelaku dosa besar.
Al-Asyari berpendapat bahwa yang menyebabkan orang
berkewajiban beriman kepada Allah adalah wahyu yang didakwahkan. Dengan
demikian, menurut Al-Asyari, jika seseorang belum pernah menerima dakwah, ia
tidak berkewajiban beriman kepada Allah dan itu tidak mengakibatkan dosa.[6]
E. Aliran
maturidiyah[7]
Samarkand
ataupun Bukhara sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai
mu’min karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang di perolehnya
kelak di akhirat, bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia
meninggal sebelum ia taubat, maka keputusan sepenuhnya ada pada Allah SWT.
Berkaitan
dengan persoalan ini, Al-Maturidi sendiri sebagai peletak dasar aliran kalam
al-maturidiah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kafir dan
tidak kekal di dalam neraka, walaupun dia meninggal sebelum bertaubat. Hal ini
karena Allah telah menjajikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai
dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan bagi orang yang
berbuat dosa syirik. Karena itu perbuatan dosa besar selain syirik, tidaklah
menjadi seseorang kafir atau murtad. Menurut al-maturidi iman itu cukup dengan
tashdiq dan ikrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu
amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah
atau mengurangi sifatnya saja
· Masalah iman
Pertama, masalah kewajiban iman kepada
Allah dengan akal. Menurut Maturidiyah, orang yang berakal wajib beriman kepada
Allah meskipun belum menerima ajaran wahyu. Jika ia tidak mau beriman, ia telah
berbuat dosa.
Kedua, masalah keterjagaan para nabi dari
perbuatan dosa. Dalam pandangan Al-Maturidi, semua nabi terjaga dari dosa, baik
itu dosa besar maupun dosa kecil. Sedangkan, menurut Al-Asyari, semua nabi
terjaga dari perbuatan dosa besar, tetapi masih mungkin melakukan perbuatan
yang menyebabkan dosa kecil[8]
KESIMPULAN
Tentang
status pelaku dosa besar golongan khawarij menganggap, bahwa orang yang
terlibat dalam permasalahan tahkim dianggap kafir, bahkan kufur atau musyrik.
Sedangkan iman bukan hanya sekedar kepercayaan saja, namun juga harus di
amalkan dengan cara mengerjakan kewajiban-kewajiban agama.
Golongan
Murjiah berpendapat bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu segala
ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak menggeser
atau merusak keimananya, bahkan keimanannya masih sempurna di mata Tuhan.
Golongan
Mu’tazilah berpendapat bahwa status pelaku dosa besar tidak dianggap kafir dan
tidak dianggap mu’min. namun golongan ini menganggap dengan sebutan fasiq
Golongan
As’ariyah menghukumi status pelaku dosa besar tetap mu’min, walaupun dia
melakukan dosa besar. Namun jika dosa besar itu dilakukan dengan anggapan bahwa
hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia di pandang telah
kafir.
Golongan
Maturidiah menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mu’min karena
adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang di perolehnya kelak di
akhirat, bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia.
Daftar pustaka
Anwar , Rosihon
dkk. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka
Setia, Maret, 2001. cet 1
Hanafi, Ahmad. Pengantar teology islam. Jakarta: Al
Husna Dzikra, 1995. cet 6
Hasbullah, Azizi
Aliran-aliran teology islam.Kediri:
Purna Siswa Aliyah, Agustus, 2009. cet 1
[1] Rosihon anwar
dkk, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka
Setia, Maret 2001),cet 1, hlm 133-135
[2] Idem , hlm
136-137
[3] A. Hanafi. Pengantar teology islam.. (Jakarta:Al
Husna Dzikra 1995) cet 6, hlm 67
[5] Rosihon dkk, Ilmu Kalam, hal 138
[6]
Azizi Hasbullah. Aliran-aliran teology
islam (Kediri: Purna Siswa Aliyah, Agustus, 2009) cet 1
[7] Rosihon dkk, Ilmu Kalam, hlm 138-139
[8] Pemikiran-pemikiran
maturidiyah.com