Visitor

Kamis, 22 Maret 2012

ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU KALAM

PENDAHULUAN
Pemikiran-pemikiran para filosof tentang ajaran-ajaran dan wahyu dari Allah. Banyak ajaran Islam yang tidak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka. Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.

A. Aliran Khawarij[1]
Ciri yang menonjol dari aliran khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Hal ini di dukung oleh watak kerasnya akibat letak geografis, juga di bangun atas dasar pemahaman tekstual atas nas-nas Al-Quran dan Hadist. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim adalah kafir, berdasarkan firman Allah surah Al-Maidah ayat 44
Semua pelaku dosa besar menurut subsekte Khawarij adalah sebagai berikut
1.      Khawarij Azariqah. Mereka menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir yaitu musyrik. Pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan itu berarti dia telah keluar dari islam (musyrik). Mereka kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya. Kafir yang di maksud oleh Azariqah disini adalah semua orang islam yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan orang islam yang sepaham dengan  mereka, tetapi tidak mau berhijrah kedalam lingkungan mereka juga di pandang kafir bahkan musyrik.
2.      Khawarij Najdah. Pelaku dosa besar dianggap musyrik oleh khawarij Najdah, jika pelaku tersebut secara continue melakukan dosa kecil. Namun apabila dosa besar tersebut tidak dikerjakan secara continue, maka pelakunya tidak dianggap musyrik tetapi hanya kafir. Kafir yang dimaksud oleh Najdah adalah mereka orang islam yang tidak sepaham dengan golonganya. Dan pengikutnya  jika mengerjakan dosa besar tetap mendapatkan siksaan di neraka, tapi pada akhirnya akan masuk surga juga.
3.      Khawarij Al-Muhakimat, semua orang yang menyetujui arbitrase (tahkim) adalah bersalah dan menjadi kafir. Hukum kafir inipun mereka luaskan artinya sehingga termasuk orang yang berbuat dosa besar. Berbuat zina, membunuh sesama manusia tanpa sebab, dan dosa-dosa besar lainnya menyebabkan pelakunya telah keluar dari islam.
4.      Khawarij As-Sufriah, membagi dosa besar dalam dua bagian. Yaitu dosa yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh, mencuri dan berzina, dan dosa yang di dunia tidak ada sanksinya, seperti meniggalkan sholat dan puasa. Orang yang berbuat dosa kategori pertama tidak dianggap kafir, sedangkan orang yang melaksanakan dosa kategori kedua dipandang kafir.
Golongan khawarij berpendapat bahwa mengerjakan perintah-perintah agama seperti puasa, sholat, jujur, adil dan perbuatan baik lainnya menjadi bagian dari iman. Di karenakan menurut golongan ini, iman bukan hanya sekedar kepercayaan saja, demikian halnya jika kita percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai rasul-Nya, kemudian tidak mengerjakan kewajiban-kewajiban agama apalagi mengerjakan dosa besar maka ia menjadi kafir.

B. Aliaran Murjiah[2]
Pandangan aliran Murjiah tentang status pelaku dosa besar, dapat di telusuri dari definisi iman yang di rumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte Murjiah berbeda pendapat dalam merumuskan definisi iman itu, sehingga pandangan tiap sekte tentang status pelaku dosa besarpun berbeda-beda pula. Harun nasution berpendapat sebagai berikut
1.      Murjiah yang ekstrim, mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu,segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak menggeser atau merusak keimananya, bahkan keimanannya masih sempurna di mata Tuhan. Murjiah yang berpendapat diatas diantaranya adalah, Al-Jamiiyah, Al-Solihiyah, Al-Yunusiah. Mereka berpandangan bahwa iman adalah tasdiq (membenarkan) secara kalbu saja, atau dengan kata lain, mengetahui Allah dengan kalbu; bukan secara demonstratif, baik ucapan maupun tindakan.oleh karena itu jika seseorang telah beriman dalam hatinya,ia dipandang tetap sebagai orang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti yahudi atau nasrani. Menurut mereka iqrar dan amal bukan bagian dari iman. Hal ini dapat disimpulkan bahwa, murjiah ekstrim memandang pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir sehingga tidak akan disiksa di neraka.
2.      Murjiah moderat, mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun di siksa di  neraka, ia tidak kekal di dalamnya,bergantung pada ukuran dosa yang di lakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya, sehingga ia terbebas dari neraka. Murjiah yang berpendapat ini adalah, Abu Hanifah dan pengikutnya
Golongan Murjiah mengatakan bahwa iman hanyalah kepercayaan hati semata-mata, dan amalan lahir tidak menjadi bagian dari iman. Orang yang mengerjakan dosa besar tidak mengeluarkannya dari lingkungan iman (tidak dianggap kafir). Jadi golongan murjiah membuka pintu seluas-luasnya. Semboyan golongan murjiah “maksiat tidak berbahaya beserta iman (tidak membahayakan) sebagaimana ketaatan tidak akan berguna beserta kekafiran”[3]

C. Aliaran Mu’tazilah
Jawaban tentang status pelaku dosa besar dalam aliran Mu’tazilah dapat di kategorikan menjadi 3, yaitu[4]
1. Sebutan Mu’tazilah
Disebut Mu’tazilah, karena Wasil bin ‘Ata dan ‘Amar bin ‘Ubaid menjauhkan diri (I’tizala) dari pengajian Hasan Basri di Basrah, kemudian membentuk pengajian sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar tidak mu’min lengkap, juga tidak kafir lengkap, melainkan berada dalam suatu tempat diantara dua tempat (tingkatan) tersebut. Karena penjauhan ini, maka disebut orang mu’tazilah(orang yang menjauhkan diri-memisahkan diri)
Golongan mu’tazilah menyalahi semua pendapat  yang telah ada, tentang orang yang mengerjakan dosa besar. Seperti yang dikatakan oleh Murjiah bahwa pembuat dosa besar masih termasuk mu’min. Menurut golongan khawarij azariqah dia menjadi kafir. Sedang menurut Hasan Basri ia menjadi orang yang munafik. Datanglah Wasil bin ‘Ata untuk mengatakan pembuat dosa besar bukan mu’min, bukan pula menjadi kafir, melainkan menjadi fasik.
2. Masalah iman
Menurut golongan Mu’tazilah semua orang yang terlibat dalam persengketaan kaum muslimin tetap orang mu’min juga, tidak keluar dari islam, karena soal iman menjadi pekerjaan hati semata-mata. Kelanjutannya adalah khalifah Umawi tetap menjadi orang mu’min, meskipun mengerjakan dosa besar, begitu pula lawan-lawannya. Iman terdiri dari sikap-sikap kebaikan, yang apabila terkumpul pada seseorang, maka ia akan disebut sebagai orang mu’min sebagai sebutan pujian. Orang fasik tidak terkumpul pada dirinya sifat-sifat kebaikan dan tidak berhak akan sebutan pujian, yaitu mu’min. tetapi ia juga bukan orang kafir sama sekali, karena syahadat dan amalan-amalan baik terdapat padanya dan tidak bisa diingkari.
3. Prinsip
Seorang muslim yang mengerjakan dosa besar selain syirik, bukan lagi menjadi orang mu’min, juga tidak menjadi orang kafir melainkan fasik. Tingkatan orang fasik berada dibawah orang mu’min dan diatas orang kafir. Prinsip mu’tazilah di sini mengambil jalan tengah dalam menghukumi pelaku dosa besar, yang pendapat golongan ini didasari atas Al-Quran ayat 31 surat Al-Isra’, Hadis (sebaik-baiknya perkara ialah yang tengah-tengah),kata-kata yang diambil hikmah dari cendakiawan islam (jadikan kamu dalam dunia ini tengah-tengah).

D. Aliran Asy’ariyah[5]
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari, sebagi wakil Ahl As-Sunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah(Ahl Al-Qiblah) walaupun mereka dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi, jika dosa besar itu dilakukan dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia di pandang telah kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakn Tuhan. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaat dari nabi Muhammad SAW. Sehingga terbebas dari siksaan neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir lainnya. Dapat disimpulkan bahwa Al-Asy’ari sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murjiah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan pelaku dosa besar.
Al-Asyari berpendapat bahwa yang menyebabkan orang berkewajiban beriman kepada Allah adalah wahyu yang didakwahkan. Dengan demikian, menurut Al-Asyari, jika seseorang belum pernah menerima dakwah, ia tidak berkewajiban beriman kepada Allah dan itu tidak mengakibatkan dosa.[6]

E. Aliran maturidiyah[7]
Samarkand ataupun Bukhara sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mu’min karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang di perolehnya kelak di akhirat, bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal sebelum ia taubat, maka keputusan sepenuhnya ada pada Allah SWT.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Maturidi sendiri sebagai peletak dasar aliran kalam al-maturidiah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka, walaupun dia meninggal sebelum bertaubat. Hal ini karena Allah telah menjajikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Karena itu perbuatan dosa besar selain syirik, tidaklah menjadi seseorang kafir atau murtad. Menurut al-maturidi iman itu cukup dengan tashdiq dan ikrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja
·      Masalah iman
Pertama, masalah kewajiban iman kepada Allah dengan akal. Menurut Maturidiyah, orang yang berakal wajib beriman kepada Allah meskipun belum menerima ajaran wahyu. Jika ia tidak mau beriman, ia telah berbuat dosa.
Kedua, masalah keterjagaan para nabi dari perbuatan dosa. Dalam pandangan Al-Maturidi, semua nabi terjaga dari dosa, baik itu dosa besar maupun dosa kecil. Sedangkan, menurut Al-Asyari, semua nabi terjaga dari perbuatan dosa besar, tetapi masih mungkin melakukan perbuatan yang menyebabkan dosa kecil[8]

KESIMPULAN
Tentang status pelaku dosa besar golongan khawarij menganggap, bahwa orang yang terlibat dalam permasalahan tahkim dianggap kafir, bahkan kufur atau musyrik. Sedangkan iman bukan hanya sekedar kepercayaan saja, namun juga harus di amalkan dengan cara mengerjakan kewajiban-kewajiban agama.
Golongan Murjiah berpendapat bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak menggeser atau merusak keimananya, bahkan keimanannya masih sempurna di mata Tuhan.
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa status pelaku dosa besar tidak dianggap kafir dan tidak dianggap mu’min. namun golongan ini menganggap dengan sebutan fasiq
Golongan As’ariyah menghukumi status pelaku dosa besar tetap mu’min, walaupun dia melakukan dosa besar. Namun jika dosa besar itu dilakukan dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia di pandang telah kafir.
Golongan Maturidiah menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mu’min karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang di perolehnya kelak di akhirat, bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia.

Daftar pustaka
Anwar , Rosihon dkk. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia, Maret, 2001. cet 1
Hanafi, Ahmad. Pengantar teology islam. Jakarta: Al Husna Dzikra, 1995. cet 6
Hasbullah, Azizi Aliran-aliran teology islam.Kediri: Purna Siswa Aliyah, Agustus, 2009. cet 1









[1] Rosihon anwar dkk, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, Maret 2001),cet 1, hlm 133-135                                       
[2] Idem , hlm 136-137
[3] A. Hanafi. Pengantar teology islam.. (Jakarta:Al Husna Dzikra 1995) cet 6, hlm 67
[4] Idem  hlm 65-67  
[5] Rosihon dkk, Ilmu Kalam, hal 138
[6] Azizi Hasbullah. Aliran-aliran teology islam (Kediri: Purna Siswa Aliyah, Agustus, 2009)  cet 1
[7] Rosihon dkk, Ilmu Kalam, hlm 138-139
[8] Pemikiran-pemikiran maturidiyah.com

HK. ACARA PERADILAN TENTANG PUTUSAN YANG DAPAT DIMOHONKAN BANDING


Jenis Putusan Yang Dapat Dimohonkan Banding
Berdasarkan ketentuan pasal 3 Jo. 5 UU No. 1 Drt. Tahun 1951 hukum acara perdata untuk banding tidak lagi berdasarkan pasal 188 sampai dengan 194 HIR, tetapi untuk Jawa dan Madura berlaku UU No. 20 Tahun 1947, sedang untuk luar Jawa dan Madura pasal 199 sampai dengan 205 Rbg.
Dari isi ketentuan pasal 6 dan 9 UU No. 20 Tahun 1947 dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dapat dimohonkan banding hanyalah putusan dan bukan untuk penetapan hakim. Dengan perkataan lain hanya terhadap putusan jenis condemnatoir dan constitutief saja, bukan untuk jenis declaratoir. Putusan yang dapat dimohonkan banding hanyalah putusan akhir, berarti putusan sela tidak dapat dimohonkan banding kecuali apabila diajukan bersama-sama dengan putusan akhir (Sudikno Mertokusumo, 1982:190). Penentuan bahwa yang dapat dimohonkan banding hanyalah putusan hakim ini tetap dapat kita pertahankan, sebab dalam menyelesaikan suatu sengketa ada pihak yang tidak puas atau merasa dirugikan oleh putusan tersebut.
Upaya hukum terhadap penetapan itu langsung kasasi, hal ini sesuai dengan pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985, yang menentukan “Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Kalau di lingkungan peradilan umum penetapan tidak dapat dimohonkan banding, kalau di lingkungan peradilan agama di samping putusan, penetapan juga dapat dimohonkan banding. Atas alasan bahwa baik putusan maupun penetapan dapat dimohonkan banding, dan dengan dituangkan dalam bentuk penetapan lebih sederhana, cepat dan murah, sehingga ada yang seharusnya bentuk putusan dirubah menjadi penetapan. Alasan lain kemungkinan untuk menghindari kewajiban memintakan pengukuhan setiap putusan pengadilan agama yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada pengadilan negeri (Kuntoro Basuki, 1989:52-53).
Putusan yang bukan putusan akhir atau disebut juga putusan sela atau putusan antara mempunyai fungsi untuk memperlancar pemeriksaan perkara. Putusan sela sebagai satu kesatuan untuk menyelesaikan perkara yang akhirnya tertuang dalam putusan akhir. Termasuk putusan sela adalah putusan yang bertujuan mengatur jalannya pemeriksaan atau membagi beban pembuktian antara kedua belah pihak atau yang memerintahkan pemeriksaan lainnya, putusan sela inilah yang tidak dapat dimohonkan banding tersendiri.
Memang ada putusan sela yang sekaligus juga dianggap sebagai putusan akhir, yaitu putusan dalam mana pengadilan negeri menganggap dirinya tidak berhak untuk memeriksa perkaranya (pasal 9 ayat [2] UU No. 20 Tahun 1947).
Sebagai bahan perbandingan ketentuan dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering di samping mengenal putusan akhir (einvonnis), juga mengenal putusan sela atau antara (tusschenvonnis) yaitu: putusan praeparatoir dan putusan interlocutoir.
Putusan praeparatoir gunanya untuk melancarkan acara, untuk memudahkan pengambilan putusan akhir, tetapi tidak mempunyai pengaruh atas pokok perkara atau putusan akhir. Putusan interlocutoir isinya memerintahkan pembuktian, sehingga dapat mempengaruhi putusan akhir.

Pemohon Banding
Ketentuan pasal 6 UU No. 20 Tahun 1947 yang menentukan bahwa oleh salah satu dari pihak-pihak (partijen) yang berkepentingan dapat diminta, supaya pemeriksaan perkara diulangi oleh pengadilan tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing.
Untuk menghindari tindakan pemohon banding yang licik, Subekti mensarankan agar dalam hukum acara perdata yang baru nanti perlu diadakan ketentuan mengenai pencabutan permohonan banding, jangan sampai merugikan pihak lawan, pencabutan hanya diperkenankan apabila ada persetujuan pihak lawan. Pendapat Subekti lebih menjamin rasa keadilan. Apabila terjadi pencabutan permohonan banding, maka pemohon tidak diperkenankan mengajukan lagi walaupun tenggang waktu 14 hari masih ada.
Banding sebagai upaya untuk memperoleh perbaikan putusan yang lebih menguntungkan, oleh sebab itu upaya banding hanya disediakan bagi pihak yang merasa tidak puas. Pengertian pihak yang tidak puas harus diartikan pihak yang dikalahkan oleh putusan pengadilan negeri.
Mahkamah Agung dengan putusannya tanggal 2 Desember 1975 No. 281 K/Sip/1973 menyatakan bahwa “asas yang berlaku dalam banding ialah bahwa permohonan banding itu hanya terbatas pada putusan pengadilan negeri yang merugikan pihak yang naik banding, jadi tidak ditunjukan pada putusan pengadilan negeri yang menguntungkan baginya.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Juni 1971 No. 46 K/Sip/1969 yang menentukan “Apabila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari seoranng, sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk seorang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima”. (Rangkuman II, 1977:248)
Persyaratan Permohonan Banding
Sebagai syarat utama untuk diterimanya permohonan banding adalah bahwa permohonan itu diajukan oleh orang yang mempunyai kepentingan hukum pada peradilan tingkat pertama.
Pasal 7 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947 menentukan bahwa Permintaan untuk pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh peminta atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk memajukan permintaan itu, kepada Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan dalam empat belas hari, terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan”.
Mengenai tenggang waktu 14 hari sesudah diterimanya putusan oleh yang berkepetingan atau menjadi 30 hari kalau pemohon tidak bertempat tinggal dalam wilayah hukum pengadilan negeri yang mengambil putusan. Atau dalam hal ada permohonan ijin untuk berperkara dalam tingkat banding tanpa biaya tenggang waktu, terhitung mulai hari berikutnya setelah pemberitahuan putusan pengadilan tinggi tentang permohonan tersebut.
Permohonan banding yang telah diterima baru didaftarkan dalam buku daftar yang disediakan untuk itu dan dianggap sah jika pemohon banding telah membayar biaya perkara banding. Menurut pasal 7 ayat (4) UU No. 20 Tahun 1947 besarnya biaya perkara banding ditaksir oleh panitera pengadilan negeri yang bersangkutan. Untuk menjamin kepastian hukum perlu ada ketegasan bahwa biaya perkara banding harus dibayar dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, apabila tidak tepat atau tidak bayar maka permohonan banding dianggap gugur demi hukum dengan ketetapan ketua pengadilan negeri.
Tindakan dan Upaya Pihak Pemohon Banding
Maksud upaya banding adalah untuk memperbaiki putusan peradilan tingkat pertama (pengadilan negeri), dan tujuan pokoknya adalah untuk mendapatkan putusan yang lebih memuaskan atau lebih menguntungkan, maka perlu kiranya pihak yang merasa tidak puas itu mengemukakan alasan-alasannya, atau kalau mungkin mengajukan alat bukti baru yang belum diajukan.
Pencabutan Pemohon Banding. Pencabutan permohonan banding sebelum perkara diperiksa oleh pengadilan tinggi hendaknya tidak merugikan pihak lawan atau hanya dimungkinkan dengan persetujuan pihak lawan atau terbanding. Dengan pencabutan berarti pemohon banding dan pihak lawan yang menyetujui hal tersebut dianggap menerima putusan pengadilan negeri. 
Perubahan Gugatan. Tentang perubahan gugatan Retnowulan Sutantio menghendaki agar dipertimbangkan secara kasus demi kasus. Kalau pengadilan tinggi berdasarkan putusan sela mengadakan pemeriksaan tambahan, menurut asas partij-autonomie, asal pihak lawan tidak menyatakan keberatannya dapat dikabulkan. Jika pemeriksaan tambahan diperintahkan untuk dilakukan oleh hakim peradilan tingkat pertama, karena hakim tingkat pertama terikat dalam putusan sela, perubahan dan atau penambahan gugatan tanpa persetujuan pihak lawan, tidak dapat dikabulkan. (Retnowulan Sutantio, 1984:13)
Isi putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Oktober 1970 No. 546 K/Sip/1970 yang menyatakan “Perubahan gugatan tidak dapat dibenarkan pada tingkat di mana pemeriksaan perkara sudah hampir selesai.Saat dalil tangkisan dan pembelaan sudah habis dikemukakan dan kedua belah pihak sebelumnya sudah mohon putusan”.(Sudikno Mertokusumo, 1988:78). Sebaiknya untuk perubahan kita berpedoman pada putusan Mahkamah Agung tersebut, yang berarti di tingkat banding tidak perkenankan lagi. Kecuali perubahan yang isinya untuk menambah gugatan yang secara tidak langsung ada kaitannya dengan penyelesaian perkara dapat dibenarkan.