NILAI DAN MORAL DALAM DISTRIBUSI
Makalah Ini Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas
Matakuliah “ETIKA BISNIS ISLAM ”
Dosen Pengampu :
Ali Samsuri, M.EI
Disusun oleh:
Amaliyah Dewi. P 931307509
JURUSAN SYARI’AH
PRODI EKONOMI ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2011
NILAI DAN MORAL DALAM DISTRIBUSI
PENDAHULUAN
Islam sebagai sistem hidup (way of
life) dan merupakan agama yang universal sebab memuat segala aspek kehidupan
baik yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya. Seiring
dengan maju pesatnya kajian tentang ekonomi islam dengan menggunakan pendekatan
filsafat dan sebagainya mendorong kepada terbentuknya suatu ilmu ekonomi
berbasis keislaman yang terfokus untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi
rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam.
Adapun bidang kajian yang terpenting
dalam perekonomian adalah bidang distribusi. Distribusi menjadi posisi penting
dari teori ekonomi mikro baik dalam sistem ekonomi Islam, sosialis maupun
kapitalis sebab pembahasan dalam bidang distribusi ini tidak hanya berkaitan
dengan aspek ekonomi belaka tetapi juga aspek sosial dan politik sehingga
menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai
saat ini[1].
Distribusi
dalam ekonomi kapitalis terfokus pada pasca produksi, yaitu pada konsekuensi
proses produksi bagi setiap proyek dalam bentuk uang ataupun nilai, lalu hasil
tersebut didistribusikan pada komponen-komponen produksi yang berandil dalam
memproduksinya, yaitu empat komponen berikut ini:
1. Upah.
Upah (wages) bagi para pekerja, dan seringkali dalam hal upah, para pekerja
diperalat desakan kebutuhannya dan diberi dibawah standar.
2. Bunga.
Bunga sebagai imbalan dari uang modal (interest on capital) yang diharuskan
pada pemilik proyek.
3. Ongkos.
Ongkos (cost) untuk sewa tanah yang dipakai proyek
4. Keuntungan.
Keuntungan (profit) bagi pengelola yang menjalankan praktek pengelolaan proyek
dan manajemen proyek, dan ia bertanggung jawab sepenuhnya.
Akibat
dari perbedaan komposisi andil dalam produksi yang dimiliki oleh masing-masing
individu, berbeda-beda pula pendapatan yang di dapat oleh masing-masing
individu.
Sedangkan
dalam ekonomi sosialis, produksi berada dalam kekuasaan pemerintah dan
mengikuti perencanaan pusat. Semua sumber produksi adalah milik negara. Semua
pekerja berada dalam kekuasaan dan rezim negara. Prinsip dalam distribusi
(pembagian) pendapatan adalah sesuai apa yang ditetapkan oleh rakyat yang di wakili
oleh negara dan tidak ditentukan oleh pasar. Negara adalah yang merencanakan
produksi nasional. Negara pula yang meletakkan kebijakan umum distribusi dengan
segala macamnya baik berupa upah, gaji, bunga, maupun ongkos sewa. Kaum
sosialis mengecam masyarakat kapitalis karena didalam masyarakat kapitalis
kekayaan dan kemewahan hanya dikuasai oleh sekelompok orang.
Ekonomi
islam terbebas dari kedua kedzaliman kapitalisme dan sosialisme. Islam
membangun filosofi dan sistemnya diatas
pilar-pilar yang lain, yang menekan pada distribusi pra produksi, yaitu pada
distribusi sumber-sumber produksi, ditangan siapa kepemilikannya? Apa hak-hak
dan kewajiban kepemilikan ini. Distribusi dalam ekonomi islam didasarkan pada
dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting yaitu, nilai kebebasan dan
nilai keadilan. Masing-masing dari kedua nilai ini akan kami bahas secara detail
dalam pembahasan berikut.
PEMBAHASAN
A. Makna Distribusi dan Urgensinya
Distribusi adalah penyebaran
atau perputaran ekonomi, dalam skala negara seringkali diterjemahkan menjadi
pemeratan kesejahteraan warga negara.
Adapun
makna distribusi dalam ekonomi islam sangatlah luas, yaitu mencakup pengaturan
kepemilikan unsur-unsur produksi dan sumber-sumber kekayaan. Dimana islam memperbolehkan
kepemilikan umum dan kepemilikan khusus, dan meletakkan masing-masingnya
kaidah-kaidah untuk mendapatkan dan mempergunakannya, dan kaidah-kaidah untuk
warisan, hibah dan wasiat.
Karena
memperhatikan bahayanya pendistribusian harta yang bukan pada haknya dan
terjadinya penyelewengan dalam distribusi, maka islam mengutamakan tema
distribusi dengan perhatian besar yang nampak dalam beberapa fenomena, dimana
yang terpenting adalah sebagai berikut :
1.
Banyaknya nash
Al Quran dan hadist Nabawi yang mencakup tema distribusi dengan menjelaskan sistem
manajemennya, himbauan komitmen dan cara-caranya yang terbaik dan memperingatkan
penyimpangan dari sistem yang benar.
2.
Syariat islam tidak
hanya menetapkan prinsip-prinsip umum bagi distribusi dan pengembalian
distribusi, namun juga merincikan dengan jelas dan lugas cara pendistribusian
harta dan sumber-sumbernya.
3.
Banyak dan
komperhensifnya sistem dan cara distribusi yang ditegakkan dalam islam, baik
dengan cara pengharusan (wajib) maupun yang secara suka rela (sunnah)
4.
Al Qur’an
menyebutkan secara tekstual dan eksplisit tentang tujuan peringatan perbedaan
di dalam kekayaan, dan mengantisipasi pemusatan harta dalam kalangan minoritas.
B.
Nilai
dan Moral Dalam Distribusi
Sistem ekonomi yang berbasis Islam
menghendaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan pada dua nilai,
yaitu nilai kebebasan dan nilai keadilan.
1. Nilai
Kebebasan.
Nilai pertama
dalam bidang distribusi adalah nilai kebebasan. Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di
bingkai oleh nilai-nilai agama. Hal ini berdasarkan pada
dua hal persoalan. Pertama, keimanannya kepada Allah dan Mentauhidkan-Nya,
kedua, keyakinan-Nya kepada manusia
Pertama:
keimanannya
kepada Allah dan mentauhidkan-Nya
Esensi
iman kepada Allah dalam islam adalah tauhid. Aqidah dan prinsip-prinsipnya
tersimpul dalam laa ilaaha illallah. Sesungguhnya hakikat tauhid adalah
mengesakan Allah dalam beribadah dan memohon pertolongan. Beribadah kepada
Allah berarti mentaati perintah-Nya, mengikuti hukum-Nya dan tunduk pada kekuasaan
dan syar’ah-Nya. Tauhid ini tidak ada jika manusia masih menjadikan selain
Allah sebagai Tuhan, mengambil selain Allah sebagai penolong. Kemudian islam
datang untuk membebaskan manusia dari setiap penyembahan kepada selain Allah.
Ia datang dengan mengemukakan bahwa semua manusia adalah sama rata. Dengan
demikian tidak boleh satu sama lain saling menzalimi dan saling menindas.
Kedua:
keyakinan-Nya kepada manusia
Sistem
islam telah mengakui kebebasan karena islam percaya kepada Allah dan juga
percaya kepada manusia, percaya dengan fitrahnya yang telah Allah ciptakan
padanya, dan mempercayai kemuliaan dan kemampuannya yang membuatnya berhak
untuk menjadi khalifah di bumi. Allah telah menciptakan manusia dan
mempersiapkannya dengan kekuatan material dan spiritual yang memadai untuk
mengemban kewenangan khilafah ini dan untuk memakmurkan bumi.
2. Nilai
Keadilan
Keadilan adalah lawan dari dholim yaitu
meletakan sesuatu bukan pada tempatnya jadi keadilan itu meletakkan segala
sesuatunya pada tempatnya. Keadilan
tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang menyatakannya sebagai tindakan
membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana
pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan
spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta
antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Keberadilan dalam
pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam Al-Qur’an agar supaya harta
kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar
diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi
kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.[2]
Nilai keadilan distribusi dalam
ekonomi islam itu tercermin dalam beberapa aspek antara lain:
1. Perbedaan pendapatan.
Ketidak samaan yang adil ini tidak diragukan
lagi akan mengakibatkan perbedaan dalam pendapatan. Ia merupakan aksioma yang
telah diungkapkan oleh Al-Quran dalam sejumlah ayat seperti firman-Nya: “Dan
Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rizqi”
(An-Nahl:71). Mungkin ayat yang paling mudah dapat diterima oleh akal disini
adalah firman-Nya: “kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka
dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian
yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian
yang lain” (Az-Zukhruf: 32)”. Suatu hal yang bisa di catat disini, bahwa pelebihan ini bukan berarti tidak
memberikan kepada sebagian orang sama sekali, dan memberikan segala sesuatu
kepada orang yang lain. Sesungguhnya pelebihan in seperti telah diketahui adalah
ke ikut sertaan dua orang dalam satu hal. Kemudian tidaklah mengapa jika ada
kelebihan salah satu dari keduanya dalam hal tersebut, selama dasar pelebihan
ini adalah apa yang telah kami sebutkan diatas yaitu ilmu, kerja dan penunaian
tugas secara baik. Bukan sembarang pelebihan seperti persepsi orang-orang bodoh
selama ini. Ia berdasarkan pada sunnatullah (hukum Allah) pada alam dan
syar’ah-Nya.
2. Pemerataan Kesempatan. Semua anggota
masyarakat harus sama dalam mendapatkan hak untuk hidup, memiliki, belajar,
bekerja, berobat, kelayakan hidup dan jaminan keamanan dari bencana alam.
Karena hal ini merupakan hak-hak kemanusiaan yang berhak mereka peroleh,
sebagai manusia semata-mata dan bukan sebagai anak-anak kelas khusus atau
keluarga tertentu, juga bukan sebagai individu-individu yang memiliki keahlian kusus. Selama semua orang sama dalam
arti kemanusiaan,maka pembedaan antara satu individu dengan individu yang lain
atau satu kelompok dengan kelompok yang lain adalah suatu kedzaliman yang tidak
beralasan sama sekali karena hal itu berarti pemberian antara dua pihak yang
sama dalam semua segi.
3. Memenuhi hak para pekerja. Diantara
nilai-nilai yang dituntut disini adalah memenuhi hak pekerja atau buruh. Tidak
boleh dalam keadilan islam seorang buruh mencurahkan jerih payah dan
keringatnya sementara ia tidak mendapatkan upah atau gajinya,dikurangi atau di
tunda-tunda. Dalam perihal penjualan jika mereka telah menyerahkan barang maka
mereka mengambil harganya pada saat penyerahan barang.seorang buruh yang telah
menunaikan pekerjaannya ialah lebih berhak dan lebih pantas mendapatkan upahnya
dengan segera karena upahnya adalah harga kerjannya bukan harga barang
dagangannya.
4. Takaful (kesetiakawanan sosial yang m
enyeluruh). Hal ini dapat terlaksana melalui jaminan sosial bagi kaum lemah dan
tidak mampu,tingkat pemenuhan kebutuhan yang cukup, sumber-sumber dana dan
jaminan sosial.
Keadilan
tidak selalu berarti persamaan
Keadilan
adalah tawazun (keseimbangan) antara berbagai potensi individu baik moral
ataupun material. Ia adlah tawazun antara individu dan komunitas (masyarakat).
Kemudian antara satu komunitas dengan komunitas yang lain dan tidak ada jalan
menuju tawazun ini kecuali dengan berhukum kepada syaiah Allah. Keadilan tidak
berarti kesamaan secara mutlak karena menyamakan antara dua hal yang berbeda
seperti membedakan antara dua hal yang sama. Kedua tindakan ini tidak bisa
dikatakan keadilan sama sekali, apalagi persamaan secara mutlak adalah suatu
hal yang mustahil karena bertentangan dengan tabiat manusia dan tabiat segala
sesuatu.
Keadilan
adalah menyamakan dua hal yang sama sesuai batas-batas persamaan dan kemiripan
kondisi antar keduanya. Atau membedakan antara dua hal yang berbeda sesuai
batas-batas perbedaan dan keterpautan kondisi antar keduanya.
Ustadz
Abbas Al-‘Aqqad berkata, “persamaan yang ideal adalah keadilan yang tidak ada
kezaliman terhadap seorang pun di dalamnya. Oleh karena itu para pakar definisi
bahasa tidak dapat menjadikan persamaan yang ideal sebagai suatu persamaan
dalam kewajiban karena persamaan dalam kewajiban dengan adanya perbedaan
kemampuan untuk melaksanakannya adalah suatu kezaliman yang buruk”
“mereka
juga tidak dapat menjadikan keadilan sebagai suatu persamaan dalam hak, karena
persamaan dalam hak dengan adanya perbedaan dalam kewajiban adalah kezaliman
yang lebih buruk, ia merupakan “perampasan” yang tidak dapat diterima oleh akal
dan sangat membahayakan kepentingan umum sebagaimana membahayakan kepentingan
tiap individu yang memiliki berbagai hak dan kewajiban”
Jadi
yang benar adalah persamaan dalam kesempatan dan sarana. Oleh sebab itu, tidak
boleh ada seorang pun yang tidak mendapatkan kesempatannya untuk mengembangkan
kemampuan yang memungkinkannya untuk melaksanakan salah satu kewajibannya. Juga
tidak boleh ada seorangpun yang tidak mendapatkan sarananya yang akan
dipergunakan untuk mencapai kesempatan tersebut.
Keadilan
dalam islam adalah fondasi
Sesungguhnya
pilar penyangga kebebasan ekonomi yang berdiri diatas pemuliaan fitrah dan
harkat manusia disempurnakan dan ditentukan oleh pilar penyangga yang lain
yaitu keadilan. Keadilan dalam islam bukanlah prinsip yang sekunder. Ia adalah
cikal bakal dan fondasi kokoh yang memasuki semua ajaran dan hukum islam berupa
aqidah, syar’ah dan akhlak (moral).
Allah
mengutus para rasul agar manusia menegakkan keadilan, oleh sebab itu manusia
berkewajiban menegakkan keadilan atas diri mereka sendiri, sedangkan para
rasul-dengan kitab yang diturunkan Allah kepada mereka-tidak ada kewajiban atas
mereka kecuali menjelaskan rambu-rambu kebenaran dan keadilan, menghilangkan
ketidak jelasan dan kesalah pahaman.[3]
Beberapa
aturan dalam ekonomi islam terkait dengan kebebasan dan keadilan adalah sebagai
berikut :
1. Segala
sesuatunya adalah milik Allah, manusia diberi hak untuk memanfaatkan segala
sesuatu yang ada di muka bumi ini sebagai khalifah atau pengemban amanat Allah,
untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan
kemampuannya dari barang-barang ciptaan Allah.
2. Allah
telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap prilaku manusia sehingga
menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya.
3. Semua
manusia tergantung pada Allah, sehingga setiap orang bertanggung jawab atas
pengembangan masyarakat dan atas lenyapnya kesulitan-kesulitan yang mereka
hadapi.
4. Status
kekalifahan berlaku umum untuk setiap manusia, namun tidak berarti selalu punya
hak yang sama dalam mendapatkan keuntungan. Kesamaan hanya dalam kesempatan,
dan setiap individu dapat menikmati keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya.
5. Individu-individu
memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia. Hak dan kewajiban
ekonomi individu disesuaikan dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya dan
dengan peranan-peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial.
6. Dalam
Islam, bekerja dinilai sebagai kebaikan dan kemalasan dinilai sebagai
kejahatan. Ibadah yang paling baik adalah bekerja dan pada saat yang sama
bekerja merupakan hak dan sekaligus kewajiban.
7. Kehidupan
adalah proses dinamis menuju peningkatan. Allah menyukai orang yang bila dia
mengerjakan sesuatu melakukannya dengan cara yang sangat baik.
8. Jangan
membikin mudarat dan jangan ada mudarat.
9. Suatu
kebaikan dalam peringkat kecil secara jelas dirumuskan. Setiap muslim dihimbau
oleh sistem etika (akhlak) Islam untuk bergerak melampaui peringkat minim dalam
beramal saleh.[4]
KESIMPULAN
1. Distribusi adalah penyebaran
atau perputaran ekonomi, dalam skala negara seringkali diterjemahkan menjadi
pemeratan kesejahteraan warga negara yang mencakup pengaturan
kepemilikan unsur-unsur produksi dan sumber-sumber kekayaan.
2. Sistem ekonomi yang berbasis Islam
menghendaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan pada dua nilai,
yaitu nilai kebebasan dan nilai keadilan.
3. Nilai
Kebebasan. Kebebasan
disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai oleh nilai-nilai agama.
Hal
ini berdasarkan pada dua hal persoalan. Pertama, keimanannya kepada Allah dan
Mentauhidkan-Nya, kedua, keyakinan-Nya kepada manusia.
4. Nilai
Keadilan. Keadilan adalah
lawan dari dholim yaitu meletakan sesuatu bukan pada tempatnya jadi keadilan
itu meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.
5. Nilai keadilan distribusi dalam
ekonomi islam itu tercermin dalam beberapa aspek antara lain: perbedaan pendapatan, pemerataan kesempatan,
pemenuhan hak pekerja, takaful
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
Zainuddin. Al-Qur’an: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan. Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1998
Qardhawi,Yusuf.
Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Jakarta Robbani Press,
2004
Sudarsono,
Heri. Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Ekonisia UII,
2004
[1] Heri
Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Ekonisia
UII, 2004), hlm. 234
[2] Zainuddin
Ahmad, Al-Qur’an: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, (Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm. 7
[3] Yusuf
Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta
Robbani Press , 2004) 347- 417
Tidak ada komentar:
Posting Komentar