Visitor

Kamis, 22 Maret 2012

Nilai dan Moral dalam Distribusi


NILAI DAN MORAL DALAM DISTRIBUSI

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
 Matakuliah “ETIKA BISNIS ISLAM

Dosen Pengampu :
Ali Samsuri, M.EI


Disusun oleh:

Amaliyah Dewi. P                                           931307509

 JURUSAN SYARI’AH PRODI EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
 2011


NILAI DAN MORAL DALAM DISTRIBUSI
PENDAHULUAN
Islam sebagai sistem hidup (way of life) dan merupakan agama yang universal sebab memuat segala aspek kehidupan baik yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya. Seiring dengan maju pesatnya kajian tentang ekonomi islam dengan menggunakan pendekatan filsafat dan sebagainya mendorong kepada terbentuknya suatu ilmu ekonomi berbasis keislaman yang terfokus untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam.
Adapun bidang kajian yang terpenting dalam perekonomian adalah bidang distribusi. Distribusi menjadi posisi penting dari teori ekonomi mikro baik dalam sistem ekonomi Islam, sosialis maupun kapitalis sebab pembahasan dalam bidang distribusi ini tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi belaka tetapi juga aspek sosial dan politik sehingga menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini[1].
Distribusi dalam ekonomi kapitalis terfokus pada pasca produksi, yaitu pada konsekuensi proses produksi bagi setiap proyek dalam bentuk uang ataupun nilai, lalu hasil tersebut didistribusikan pada komponen-komponen produksi yang berandil dalam memproduksinya, yaitu empat komponen berikut ini:
1.      Upah. Upah (wages) bagi para pekerja, dan seringkali dalam hal upah, para pekerja diperalat desakan kebutuhannya dan diberi dibawah standar.
2.      Bunga. Bunga sebagai imbalan dari uang modal (interest on capital) yang diharuskan pada pemilik proyek.
3.      Ongkos. Ongkos (cost) untuk sewa tanah yang dipakai proyek
4.      Keuntungan. Keuntungan (profit) bagi pengelola yang menjalankan praktek pengelolaan proyek dan manajemen proyek, dan ia bertanggung jawab sepenuhnya.
Akibat dari perbedaan komposisi andil dalam produksi yang dimiliki oleh masing-masing individu, berbeda-beda pula pendapatan yang di dapat oleh masing-masing individu.
Sedangkan dalam ekonomi sosialis, produksi berada dalam kekuasaan pemerintah dan mengikuti perencanaan pusat. Semua sumber produksi adalah milik negara. Semua pekerja berada dalam kekuasaan dan rezim negara. Prinsip dalam distribusi (pembagian) pendapatan adalah sesuai apa yang ditetapkan oleh rakyat yang di wakili oleh negara dan tidak ditentukan oleh pasar. Negara adalah yang merencanakan produksi nasional. Negara pula yang meletakkan kebijakan umum distribusi dengan segala macamnya baik berupa upah, gaji, bunga, maupun ongkos sewa. Kaum sosialis mengecam masyarakat kapitalis karena didalam masyarakat kapitalis kekayaan dan kemewahan hanya dikuasai oleh sekelompok orang.
Ekonomi islam terbebas dari kedua kedzaliman kapitalisme dan sosialisme. Islam membangun filosofi  dan sistemnya diatas pilar-pilar yang lain, yang menekan pada distribusi pra produksi, yaitu pada distribusi sumber-sumber produksi, ditangan siapa kepemilikannya? Apa hak-hak dan kewajiban kepemilikan ini. Distribusi dalam ekonomi islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting yaitu, nilai kebebasan dan nilai keadilan. Masing-masing dari kedua nilai ini akan kami bahas secara detail dalam pembahasan berikut.
PEMBAHASAN
A.       Makna Distribusi dan Urgensinya
Distribusi adalah penyebaran atau perputaran ekonomi, dalam skala negara seringkali diterjemahkan menjadi pemeratan kesejahteraan warga negara.
Adapun makna distribusi dalam ekonomi islam sangatlah luas, yaitu mencakup pengaturan kepemilikan unsur-unsur produksi dan sumber-sumber kekayaan. Dimana islam memperbolehkan kepemilikan umum dan kepemilikan khusus, dan meletakkan masing-masingnya kaidah-kaidah untuk mendapatkan dan mempergunakannya, dan kaidah-kaidah untuk warisan, hibah dan wasiat.
Karena memperhatikan bahayanya pendistribusian harta yang bukan pada haknya dan terjadinya penyelewengan dalam distribusi, maka islam mengutamakan tema distribusi dengan perhatian besar yang nampak dalam beberapa fenomena, dimana yang terpenting adalah sebagai berikut :
1.         Banyaknya nash Al Quran dan hadist Nabawi yang mencakup tema distribusi dengan menjelaskan sistem manajemennya, himbauan komitmen dan cara-caranya yang terbaik dan memperingatkan penyimpangan dari sistem yang benar.
2.         Syariat islam tidak hanya menetapkan prinsip-prinsip umum bagi distribusi dan pengembalian distribusi, namun juga merincikan dengan jelas dan lugas cara pendistribusian harta dan sumber-sumbernya.
3.         Banyak dan komperhensifnya sistem dan cara distribusi yang ditegakkan dalam islam, baik dengan cara pengharusan (wajib) maupun yang secara suka rela (sunnah)
4.         Al Qur’an menyebutkan secara tekstual dan eksplisit tentang tujuan peringatan perbedaan di dalam kekayaan, dan mengantisipasi pemusatan harta dalam kalangan minoritas.

B.        Nilai dan Moral Dalam Distribusi
Sistem ekonomi yang berbasis Islam menghendaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan pada dua nilai, yaitu nilai kebebasan dan nilai keadilan.
1.   Nilai Kebebasan.
Nilai pertama dalam bidang distribusi adalah nilai kebebasan. Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai oleh nilai-nilai agama. Hal ini berdasarkan pada dua hal persoalan. Pertama, keimanannya kepada Allah dan Mentauhidkan-Nya, kedua, keyakinan-Nya kepada manusia
Pertama: keimanannya kepada Allah dan mentauhidkan-Nya
Esensi iman kepada Allah dalam islam adalah tauhid. Aqidah dan prinsip-prinsipnya tersimpul dalam laa ilaaha illallah. Sesungguhnya hakikat tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah dan memohon pertolongan. Beribadah kepada Allah berarti mentaati perintah-Nya, mengikuti hukum-Nya dan tunduk pada kekuasaan dan syar’ah-Nya. Tauhid ini tidak ada jika manusia masih menjadikan selain Allah sebagai Tuhan, mengambil selain Allah sebagai penolong. Kemudian islam datang untuk membebaskan manusia dari setiap penyembahan kepada selain Allah. Ia datang dengan mengemukakan bahwa semua manusia adalah sama rata. Dengan demikian tidak boleh satu sama lain saling menzalimi dan saling menindas.
Kedua: keyakinan-Nya kepada manusia
Sistem islam telah mengakui kebebasan karena islam percaya kepada Allah dan juga percaya kepada manusia, percaya dengan fitrahnya yang telah Allah ciptakan padanya, dan mempercayai kemuliaan dan kemampuannya yang membuatnya berhak untuk menjadi khalifah di bumi. Allah telah menciptakan manusia dan mempersiapkannya dengan kekuatan material dan spiritual yang memadai untuk mengemban kewenangan khilafah ini dan untuk memakmurkan bumi.
2.   Nilai Keadilan
Keadilan adalah lawan dari dholim yaitu meletakan sesuatu bukan pada tempatnya jadi keadilan itu meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya. Keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam Al-Qur’an agar supaya harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.[2]
Nilai keadilan distribusi dalam ekonomi islam itu tercermin dalam beberapa aspek antara lain:
1.      Perbedaan pendapatan.
Ketidak samaan yang adil ini tidak diragukan lagi akan mengakibatkan perbedaan dalam pendapatan. Ia merupakan aksioma yang telah diungkapkan oleh Al-Quran dalam sejumlah ayat seperti firman-Nya: “Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rizqi” (An-Nahl:71). Mungkin ayat yang paling mudah dapat diterima oleh akal disini adalah firman-Nya: “kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain” (Az-Zukhruf: 32)”. Suatu hal yang bisa di catat disini,  bahwa pelebihan ini bukan berarti tidak memberikan kepada sebagian orang sama sekali, dan memberikan segala sesuatu kepada orang yang lain. Sesungguhnya pelebihan in seperti telah diketahui adalah ke ikut sertaan dua orang dalam satu hal. Kemudian tidaklah mengapa jika ada kelebihan salah satu dari keduanya dalam hal tersebut, selama dasar pelebihan ini adalah apa yang telah kami sebutkan diatas yaitu ilmu, kerja dan penunaian tugas secara baik. Bukan sembarang pelebihan seperti persepsi orang-orang bodoh selama ini. Ia berdasarkan pada sunnatullah (hukum Allah) pada alam dan syar’ah-Nya.
2.      Pemerataan Kesempatan. Semua anggota masyarakat harus sama dalam mendapatkan hak untuk hidup, memiliki, belajar, bekerja, berobat, kelayakan hidup dan jaminan keamanan dari bencana alam. Karena hal ini merupakan hak-hak kemanusiaan yang berhak mereka peroleh, sebagai manusia semata-mata dan bukan sebagai anak-anak kelas khusus atau keluarga tertentu, juga bukan sebagai individu-individu yang memiliki  keahlian kusus. Selama semua orang sama dalam arti kemanusiaan,maka pembedaan antara satu individu dengan individu yang lain atau satu kelompok dengan kelompok yang lain adalah suatu kedzaliman yang tidak beralasan sama sekali karena hal itu berarti pemberian antara dua pihak yang sama dalam semua segi.
3.      Memenuhi hak para pekerja. Diantara nilai-nilai yang dituntut disini adalah memenuhi hak pekerja atau buruh. Tidak boleh dalam keadilan islam seorang buruh mencurahkan jerih payah dan keringatnya sementara ia tidak mendapatkan upah atau gajinya,dikurangi atau di tunda-tunda. Dalam perihal penjualan jika mereka telah menyerahkan barang maka mereka mengambil harganya pada saat penyerahan barang.seorang buruh yang telah menunaikan pekerjaannya ialah lebih berhak dan lebih pantas mendapatkan upahnya dengan segera karena upahnya adalah harga kerjannya bukan harga barang dagangannya.
4.      Takaful (kesetiakawanan sosial yang m enyeluruh). Hal ini dapat terlaksana melalui jaminan sosial bagi kaum lemah dan tidak mampu,tingkat pemenuhan kebutuhan yang cukup, sumber-sumber dana dan jaminan sosial.
Keadilan tidak selalu berarti persamaan
Keadilan adalah tawazun (keseimbangan) antara berbagai potensi individu baik moral ataupun material. Ia adlah tawazun antara individu dan komunitas (masyarakat). Kemudian antara satu komunitas dengan komunitas yang lain dan tidak ada jalan menuju tawazun ini kecuali dengan berhukum kepada syaiah Allah. Keadilan tidak berarti kesamaan secara mutlak karena menyamakan antara dua hal yang berbeda seperti membedakan antara dua hal yang sama. Kedua tindakan ini tidak bisa dikatakan keadilan sama sekali, apalagi persamaan secara mutlak adalah suatu hal yang mustahil karena bertentangan dengan tabiat manusia dan tabiat segala sesuatu.
Keadilan adalah menyamakan dua hal yang sama sesuai batas-batas persamaan dan kemiripan kondisi antar keduanya. Atau membedakan antara dua hal yang berbeda sesuai batas-batas perbedaan dan keterpautan kondisi antar keduanya.
Ustadz Abbas Al-‘Aqqad berkata, “persamaan yang ideal adalah keadilan yang tidak ada kezaliman terhadap seorang pun di dalamnya. Oleh karena itu para pakar definisi bahasa tidak dapat menjadikan persamaan yang ideal sebagai suatu persamaan dalam kewajiban karena persamaan dalam kewajiban dengan adanya perbedaan kemampuan untuk melaksanakannya adalah suatu kezaliman yang buruk”
“mereka juga tidak dapat menjadikan keadilan sebagai suatu persamaan dalam hak, karena persamaan dalam hak dengan adanya perbedaan dalam kewajiban adalah kezaliman yang lebih buruk, ia merupakan “perampasan” yang tidak dapat diterima oleh akal dan sangat membahayakan kepentingan umum sebagaimana membahayakan kepentingan tiap individu yang memiliki berbagai hak dan kewajiban”
Jadi yang benar adalah persamaan dalam kesempatan dan sarana. Oleh sebab itu, tidak boleh ada seorang pun yang tidak mendapatkan kesempatannya untuk mengembangkan kemampuan yang memungkinkannya untuk melaksanakan salah satu kewajibannya. Juga tidak boleh ada seorangpun yang tidak mendapatkan sarananya yang akan dipergunakan untuk mencapai kesempatan tersebut.
Keadilan dalam islam adalah fondasi
Sesungguhnya pilar penyangga kebebasan ekonomi yang berdiri diatas pemuliaan fitrah dan harkat manusia disempurnakan dan ditentukan oleh pilar penyangga yang lain yaitu keadilan. Keadilan dalam islam bukanlah prinsip yang sekunder. Ia adalah cikal bakal dan fondasi kokoh yang memasuki semua ajaran dan hukum islam berupa aqidah, syar’ah dan akhlak (moral).
Allah mengutus para rasul agar manusia menegakkan keadilan, oleh sebab itu manusia berkewajiban menegakkan keadilan atas diri mereka sendiri, sedangkan para rasul-dengan kitab yang diturunkan Allah kepada mereka-tidak ada kewajiban atas mereka kecuali menjelaskan rambu-rambu kebenaran dan keadilan, menghilangkan ketidak jelasan dan kesalah pahaman.[3]
Beberapa aturan dalam ekonomi islam terkait dengan kebebasan dan keadilan adalah sebagai berikut :
1.      Segala sesuatunya adalah milik Allah, manusia diberi hak untuk memanfaatkan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini sebagai khalifah atau pengemban amanat Allah, untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya dari barang-barang ciptaan Allah.
2.      Allah telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap prilaku manusia sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya.
3.      Semua manusia tergantung pada Allah, sehingga setiap orang bertanggung jawab atas pengembangan masyarakat dan atas lenyapnya kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi.
4.      Status kekalifahan berlaku umum untuk setiap manusia, namun tidak berarti selalu punya hak yang sama dalam mendapatkan keuntungan. Kesamaan hanya dalam kesempatan, dan setiap individu dapat menikmati keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya.
5.      Individu-individu memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia. Hak dan kewajiban ekonomi individu disesuaikan dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya dan dengan peranan-peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial.
6.      Dalam Islam, bekerja dinilai sebagai kebaikan dan kemalasan dinilai sebagai kejahatan. Ibadah yang paling baik adalah bekerja dan pada saat yang sama bekerja merupakan hak dan sekaligus kewajiban.
7.      Kehidupan adalah proses dinamis menuju peningkatan. Allah menyukai orang yang bila dia mengerjakan sesuatu melakukannya dengan cara yang sangat baik.
8.      Jangan membikin mudarat dan jangan ada mudarat.
9.      Suatu kebaikan dalam peringkat kecil secara jelas dirumuskan. Setiap muslim dihimbau oleh sistem etika (akhlak) Islam untuk bergerak melampaui peringkat minim dalam beramal saleh.[4]
KESIMPULAN
1.      Distribusi adalah penyebaran atau perputaran ekonomi, dalam skala negara seringkali diterjemahkan menjadi pemeratan kesejahteraan warga negara yang mencakup pengaturan kepemilikan unsur-unsur produksi dan sumber-sumber kekayaan.
2.      Sistem ekonomi yang berbasis Islam menghendaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan pada dua nilai, yaitu nilai kebebasan dan nilai keadilan.
3.      Nilai Kebebasan. Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai oleh nilai-nilai agama. Hal ini berdasarkan pada dua hal persoalan. Pertama, keimanannya kepada Allah dan Mentauhidkan-Nya, kedua, keyakinan-Nya kepada manusia.
4.      Nilai Keadilan. Keadilan adalah lawan dari dholim yaitu meletakan sesuatu bukan pada tempatnya jadi keadilan itu meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.
5.      Nilai keadilan distribusi dalam ekonomi islam itu tercermin dalam beberapa aspek antara lain:  perbedaan pendapatan, pemerataan kesempatan, pemenuhan hak pekerja, takaful
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainuddin. Al-Qur’an: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998
Http://www.prinsip-prinsipekonomiislam.com
Qardhawi,Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Jakarta Robbani Press, 2004
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Ekonisia UII, 2004









[1] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Ekonisia UII, 2004), hlm. 234
[2] Zainuddin Ahmad, Al-Qur’an: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm. 7
[3] Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta Robbani Press , 2004)  347- 417
[4] http://www.prinsip-prinsipekonomiislam.com, diakses tgl 23 november 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar